Sering Dibilang, "Wong Jowo sing Ora Njawani"

Jumat, April 12, 2013
Ibuku seorang bidan desa yang juga membuka praktek di rumah. Setiap hari selalu ada pasien yang datang ke rumah untuk periksa kesehatan. Hal yang paling membuatku kelu adalah ketika bahasa kromo inggil-ku tidak karuan saat berinteraksi dengan pasien ibu. Seorang yang paling marah ketika bahasa kromo-ku tidak karuan adalah ayahku. Ayah seorang jawa Ponorogo asli, sedangkan ibu rantauan dari Gresik. Jawa bagian utara biasanya mempunyai bahasa yang agak kasar. Karena bahasa Jawa yang blasteran dari kedua orangtuaku inilah, akhirnya muncul bahasa Jawa yang tidak njawani, hehe. Serba salah pokoknya, karena jika aku harus memakai bahasa Jawa maka aku bisa memakai bahasa Jawa yang tidak jelek namun juga  bukan bahasa Jawa kromo yang paling bagus dan halus. Akhirnya aku memutuskan untuk berbahasa Indonesia jika kromo inggil-nya tidak tahu, hehe tambah dobel lucu bin aneh. Apa boleh buat, aku pun juga memikirkan kesopanan dalam berinteraksi dengan orang yang lebih tua, terkadang aku memikirkan bahwa berbahasa Indonesia dengan orangtua dari Jawa itu tidak sopan. Harus menggunakan bahasa Jawa kromo inggil. Nah, ketika lupa bahasa kromo-nya bagaimana? Bisa mati kutu aku, akhirnya aku pakailah bahasa Indonesia di tengah-tengah pengucapan bahasa kromo-ku, bayangkan? Alhasil bahasa campur-campurlah yang terjadi, hihe.

Hal terlucu ketika saudariku dari Slahung (nama salah satu desa di kotaku, biasanya orang desa adalah orang-orang hebat dalam berbahasa Jawa, tidak seperti aku orang peralihan), ia teman sekelas ketika SMA datang berkunjung silaturahiim ke rumah, kangen ceritanya. Bertepatan dengan pasien ibuku yang datang periksa. Kebetulan ibu sedang berada di polindes sehingga tidak buka praktek di rumah. Interaksiku dengan pasien ibu dimulai, diam-diam saudariku ternyata menyimak pembicaraan ini: "Ngapunten Buk, mama dateng Polindes, dereng pulang, masih nanti jam 12" Sambil tersenyum aku mengakhiri permintaan maafku karena ibu tidak ada di rumah. Jujur, aneh terasa lidah ini ketika mengucapkan bahasa campur-campur itu. Meskipun aku mengucapkannya sambil tersenyum dan dengan nada sopan banget, tetaplah aneh. Aku berbalik ke dalam rumah setelah pasien ibu memahami permintaan maafku dan berpamitan denganku untuk pulang. Saudariku yang berada di ruang tamu dalam rumah tertawa terpingkal-pingkal, pipiku pun bersemu merah, malu, dan segera memahami bahwa ia tertawa karena bahasaku yang aneh bin campur-campur. 
"Kenapa ukhti? Bahasaku aneh ya? Kalo kayak gitu tambah gak sopan ya ukh?
"Iya no, nak malah ndak sopan, hihi, pakai bahasa Indonesia aja lebih baik, daripada campur-campur." Jawab temanku dari desa yang pastinya lebih jago tata krama bahasa Inggil.
Hehe, ternyata ketakutanku terjadi. Bahasa Indonesia takut tidak sopan, bahasa Jawa kromo-inggil takut berhenti di tengah-tengah karena tidak tahu kromo-nya. Alhasil bahasa campur-campur, tapi tambah salah! Sudah aneh pakai salah -_-'


Adalah ayahku yang paling marah jika ada anak muda yang tidak menggunakan kromo inggil ketika berkomunikasi dengan beliau. Menurut beliau, jika tidak bisa kromo minimal bahasa Indonesia dengan baik, ini lebih sopan. Daripada bahasa jawa yang sorogodog kepada orang yang lebih tua. Jangan coba-coba tidak memakai bahasa kromo kepada orangtua jika tinggal di Jawa ya. Minimal bahasa Indonesia yang baik, bukan bahasa gaul, apalagi bahasa alay, terus gue harus bilang wow, hehhe.

Adalah aku yang juga was-was jika nanti mendapatkan jodoh seorang Jawa halus tulen. Pastinya komunikasi saya dengan mertua harus menggunakan bahasa krama dengan baik dan sopan. Tidak mungkin jika aku harus lama-lama berbahasa Indonesia dengan mereka. Ini tidak sopan. Namun, Allah selalu menghadirkan masalah dengan solusinya. Jika memang mendapat jodoh dengan orang Jawa halus tulen, aku percaya, Allah akan menghadirkan suami yang senantiasa membimbing dan mengajarkanku bahasa krama dengan baik dan benar. Disamping aku harus mandiri dengan kemampuanku, mengasah, dan mencari tahu sendiri. Menurutku menikah itu menyempurnakan, bukan menunggu sempurna kemudian menikah. Termasuk pada hal-hal sepele semacam bahasa ini. Istri dibimbing, suami membimbing. Begitu jua ketika suami membutuhkan motivasi dan semangat dari sang istri. Saling mengerti, memahami, dan melengkapi. Kata pepatah, bukan menunggu sempurna kemudian menikah, namun dengan menikah in syaa Allah semuanya menjadi terasa sempurna.

*karena hidup adalah terus belajar, be my best :)

Kecantikan hakiki adalah kecantikan abadi yang tak pernah berubah, tak pernah mati dan tak pernah lekang termakan zaman ataupun waktu. Kecantikan yang terpancar dari kesantunan, kelembutan, keramahan, kerendahan hati, ketaatan serta kecintaan pada Rabb dan Rasulnya. Seperti kecantikan sejati yang terpancar lewat kecerdasan Aisyah ra., kebijaksanaan Khadijah ra., ketaatan Fatimah Az Zahra, ketabahan Siti Hajar dan keimanan Siti Masyitah.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

bismillah EmoticonEmoticon