![]() |
picture by: google.com |
Semua kehidupan dimulai dari titik nol. Tidak ada kemuliaan dan kesuksesan yang "ujuk-ujuk" atau "siap jadi" tanpa kesusahan, perjuangan, dan pengorbanan. Jalan halal dan keridhaan Allah yang akan mengabadikan kesuksesan. Sukses, butuh proses.
Teringat sms kiriman salah seorang teman yang berkata bahwa saya adalah orang dari kalangan "priyayi". Istilah priyayi kembali saya dengar dari teman tersebut setelah sebelumnya saya sering mendengar dari dongeng mbah buyut semasa SD. Beliau bercerita tentang para priyayi dan londo pada jaman penjajahan. Ketika itu saya tidak tahu apa itu priyayi. Semangat mbah buyut untuk menceritakan jaman penjajahan Belanda menutupi ketidaktahuan saya. Akhirnya saya hanya membayang-bayangkan para kyai (baca: pemuka agama islam) dan tentara Belanda yang berkuasa di jaman itu. Haha. Imaginasi yang dong-dong. Hal yang paling keterlaluan adalah ketika saya baru tahu arti priyayi secara benar setelah mendapat sms dari teman saya tadi, hehe. Langsung saya bertanya, "apa itu priyayi?" Dan ternyata priyayi adalah bahasa Jawa dari istilah "bangsawan". Haha, tambah isin, wong jowo sing gak njawani iki jenenge.
Wah saya dibilang keturunan darah biru, senyum-senyum aja sambil mengamini. Saya balas sms kawan saya, karena saya menganggap itu adalah doa baik, maka saya amin-kan pada yang Maha Mengabulkan, "aamiiin....", begitu saya membalas sms sambil tersenyum.
"Emang iya kok.." kata teman saya itu sok tahu, hehe.
Dasar temanku yang cantik satu itu emang bikin gemes. Tambah senyum saja saya ini. Sesungguhnya pandangan orang lain atas kesuksesan kita adalah jauh lebih berarti daripada pandangan orang lain tentang kesusahan kita. Artinya, tak perlulah orang lain melihat jatuh-bangun terlukanya kita dalam proses meraih kesuksesan. Jatah atau bagian orang lain hanya menikmati kesuksesan kita dengan pandangan mereka. Biarlah behind the scene-nya kita sendiri yang memiliki. Biar menjadi urusan ibadah pribadi dengan Sang Pemilik diri. Proses, kita sendiri yang menikmati.
Sekilas tentang keluarga saya. Ayah saya anak kedua dari delapan bersaudara. Bertempat tinggal di desa terpencil dari ujung timur kota kelahiran saya, Ponorogo. Ayah seorang yang berjiwa wirausaha sejak kecil. Sampai-sampai beliau nekat belajar ke luar kota untuk mengunduh ilmunya dengan bekal pas-pasan. Jenjang D1 kewirausahaan Universitas Negeri Malang, disinilah beliau belajar. Dalam perjalanannya banyak kesusahan yang tak terhitung. Sejak kecil hidup ayah saya sederhana, selalu berbagi pada delapan saudara lainnya. Pun setelah lulus S1 dari Surabaya, ketika ayah pertama kali bekerja di sebuah sekolah dasar, sukuhan (baca: magang), dengan gaji 20.000 rupiah perbulan, masih sempat ayah gunakan ceperan itu untuk menyekolahkan adik kandung perempuannya yang sedang belajar di akademi kebidanan. Dari sinilah ayah selalu mengajarkan hidup sederhana dan rajin berbagi. Tidak berlebihan dan mampu mandiri berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Ayah tidak pernah bersikap memanjakan dan melenakan anak-anaknya, terutama saya sebagai anak pertama beliau. Saya harus tercetak mandiri dan mengayomi adik-adik. Secara otomatis ayah selalu membuat segala sesuatunya kondusif untuk kami belajar mandiri. Sejak kecil kami sebenarnya tidak terdidik manja meskipun sifat dasar kami adalah manja. Setiap ada kesempatan berwirausaha, ayah selalu mengajak saya terlibat di dalamnya. Seperti pasar ramadhan di alun-alun kota ketika saya masih SMP, saya diajak ayah untuk berjualan semangka di salah satu stan depan paseban. Selain itu, ayah juga sering mengajak saya membantu berjualan jamur di pengajian ahad pagi. Awalnya saya tidak terbiasa dan malu dengan kewirausahaan. Namun ayah saya yang menyulap semua ketidaknyamanan saya menjadi nyaman secara bertahap dan pelan-pelan. Seakan-akan ayah saya sedang bernyanyi lagu Bondan si Lumba-lumba yang liriknya seperti ini: tinggalkanlah gengsi, hidup berawal dari mimpi. Saya pun menjadi tersihir, sejak ayah saya mengajak berjualan, menumbuhkan jiwa wirausaha saya dari hal-hal kecil terlebih dahulu, yaitu dagang kecil-kecilan. Orang besar selalu diawali dari orang kecil, pertumbuhan badan juga seperti itu bukan? Manusia berbadan tinggi masa mudanya pasti pernah mengalami tinggi badan yang tidak tinggi.
Ibu saya seorang bidan D1 lulusan Sepanjang-Gresik yang merantau ke Ponorogo mengikuti tempat tinggal ayah saya, setelah mereka menikah. Dulu ibu saya bekerja di rumah sakit swasta di Ponorogo, sekarang ibu saya adalah pengabdi negara, namun bukan pegawai negeri. Beliau memutuskan untuk menjadi pegawai tidak tetap di polindes hingga kini. Selama tujuh tahun berharap namun tidak kunjung diangkat pemerintah menjadi pegawai negeri. Hingga kini, kami masih setia menunggu pemerintah, pun ketika ujungnya kami hanya memiliki harapan kosong. Rejeki halal tidak kemana, ibuku bertahan meskipun banyak godaan di luar sana, termasuk godaan dari para calo PN. Semoga Allah selalu menguatkan kami pada jalan yang lurus (Allahumma arinal haqqo haqqo warzuqnat tibaa'ah wa arinal baathila baathila war zuqnaj tinaabah). PN bukan segalanya, bersyukurlah para pengusaha, ini profesi Rasulullah. Beruntung ayah selalu membekali kami ilmu mandiri dengan wirausaha, bagaimana rejeki bisa bergerak dan bermanfaat tak berhenti di satu titik, bukan bertumpuk-tumpuk dan tak bermanfaat tiba-tiba habis. Ayah selalu mengajarkan produktif-produktif-produktif, dengan sindiran "kapan ya anak-anakku tidak konsumtif aja?" Karena didikan ayah yang seperti ini jiwa wirausaha secara tidak langsung telah mendarah daging pada tubuh kami.
Mbah Kakung dan Mbah Uti saya yang di Ponorogo (orangtua ayah saya) adalah seorang aktifis salah satu persyarikatan agama islam di Indonesia. Hem, mungkin karena kentalnya keluarga kami dengan persyarikatan ini, jadi kesimpulannya adalah kami seorang bangsawan. Hegh, mbah uti dan mbah kakung juga butuh perjuangan untuk aktif di organisasi ini. Hingga memperjuangkan kaderisasi persyarikatan ini ke seluruh ranah keluarga mereka pada garis keturunan atas maupun bawah, juga garis samping kanan-kiri tidak boleh ada yang ketinggalan. Meskipun pada akhirnya banyak timbul pelangi di titik-titik tertentu pada keluarga besar kami. Karena kami disatukan oleh ikatan keluarga bukan persyarikatan, in syaa Allah pelangi tidak akan mengganggu kami untuk menikmati keindahan cerahnya langit yang biru setelah datangnya hujan. Hash jadi kemana-mana.
Intinya semua butuh perjuangan. Pastinya perjuangan pada garis dan jalan yang benar dan diridhai Allah. Kami adalah manusia yang selalu harus lebih baik dari kehidupan yang sebelumnya. Ilmu-lah kuncinya yang membawa kami pada kebahagiaan. Ilmu agama dan akhlak mulia utamanya. Ilmu dunia juga penting untuk meraih ilmu akhirat. Karena orang islam harus kaya untuk menjaga keimanan dan keislamannya, perlu sedekah yang banyak dan perlu khusyuk untuk beribadah.
Tidakkah Allah menempatkan otak kita pada bagian atas sendiri dari anggota tubuh yaitu kepala, selain untuk memuliakannya. Karena ilmu sungguh dimuliakan, pekerjaan otot dan otak lebih dimuliakan pekerjaan otak. Bisa jadi, paling baik adalah ketika keduanya digunakan secara seimbang. Ilmu oke, amalan juga oke.
"Ketika segala keindahan apapun bentuknya dianugerahkan kepada kalian sahabat. Demi Allah, tak ada sebersitpun rasa iri ataupun cemburu kuniatkan terlintas di benakku. Sungguh, pun ketika keindahan apapun itu terjadi padaku, aku berharap kalian juga seperti itu kepadaku. Karena kita punya jatah masing-masing. Karena sesungguhnya kita ini hanya diperbolehkan iri kepada dua hal saja, yaitu kepada orang berilmu yang senantiasa berbagi dan mengamalkan ilmunya dengan baik, serta orang kaya yang rajin menyedekahkan hartanya" (Sakina, Januari 2012).
Aku ada karena aku berguna, kita bersama untuk saling melengkapi dan bermanfaat.
Allahu ta'ala 'alam bisshowab :)
*tambahan dari ayah barusan: syariah konsep islam, tidak mengenal priyayi
Aku ada karena aku berguna, kita bersama untuk saling melengkapi dan bermanfaat.
Allahu ta'ala 'alam bisshowab :)
*tambahan dari ayah barusan: syariah konsep islam, tidak mengenal priyayi
1 komentar:
Write komentarPonorogonya dimn mas....biar bisa share hehehe
Replybismillah EmoticonEmoticon